Staphylococcus Aureus
Advertisement
SUDUT KESEHATAN | Staphylococcus
aureus merupakan
bakteri gram positif berbentuk bulat berdiameter 0,7-1,2 μm, tersusun
dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur seperti buah anggur,
fakultatif anaerob, tidak membentuk spora, dan tidak bergerak (McCaig et al.,
2006). Bakteri ini tumbuh pada suhu optimum 37 ºC, tetapi membentuk pigmen
paling baik pada suhu kamar (20-25ºC).
Koloni pada perbenihan padat
berwarna abu-abu sampai kuning keemasan, berbentuk bundar, halus,
menonjol, dan berkilau. Lebih dari 90% isolat klinik menghasilkan S. aureus yang
mempunyai kapsul polisakarida atau selaput tipis yang berperan dalam
virulensi bakteri (Purnomo et al., 2006).
Infeksi oleh S. aureus ditandai
dengan kerusakan jaringan yang disertai abses bernanah. Beberapa penyakit
infeksi yang disebabkan oleh S. aureus adalah bisul, jerawat, impetigo, dan
infeksi luka (Welsh et al., 2010). Infeksi yang lebih berat diantaranya
pneumonia, mastitis, plebitis, meningitis, infeksi saluran kemih, osteomielitis, dan
endokarditis. S. aureus juga merupakan penyebab utama infeksi
nosokomial, keracunan makanan, dan sindroma syok toksik (Welsh et al.,
2010). Kontaminasi langsung S. aureus pada luka terbuka (seperti luka pascabedah)
atau infeksi setelah trauma (seperti osteomielitis kronis setelah
fraktur terbuka) dan meningitis setelah fraktur tengkorak, merupakan penyebab
infeksi nosokomial (Khusnan et al., 2012).
S. aureus dapat
menimbulkan penyakit melalui kemampuannya untuk tersebar luas dalam jaringan dan
melalui pembentukan berbagai zat ekstraseluler. Berbagai zat yang
berperan sebagai faktor virulensi dapat berupa protein, termasuk enzim
dan toksin, contohnya:
1 Katalase
Katalase adalah enzim yang
berperan pada daya tahan bakteri terhadap proses fagositosis. Tes adanya
aktifitas katalase menjadi pembeda genus Staphylococcus dari Streptococcus
(Jawetz et al., 2012).
2 Koagulase
Enzim ini dapat menggumpalkan
plasma oksalat atau plasma sitrat, karena adanya faktor koagulase reaktif
dalam serum yang bereaksi dengan enzim tersebut. Esterase yang
dihasilkan dapat meningkatkan aktivitas penggumpalan, sehingga terbentuk
deposit fibrin pada permukaan sel bakteri yang dapat menghambat
fagositosis (Jawetz et al., 2012).
3 Hemolisin
Hemolisin merupakan toksin yang
dapat membentuk suatu zona hemolisis di sekitar koloni bakteri.
Hemolisin pada S. aureus terdiri dari alfa hemolisin, beta hemolisisn, dan
delta hemolisisn. Alfa hemolisin adalah toksin yang bertanggung jawab
terhadap pembentukan zona hemolisis di sekitar koloni S. aureus pada
medium agar darah. Toksin ini dapat menyebabkan nekrosis pada kulit
hewan dan manusia.
Beta hemolisin adalah toksin yang terutama
dihasilkan Staphylococcus yang diisolasi dari hewan, yang menyebabkan lisis
pada sel darah merah domba dan sapi. Sedangkan delta hemolisin adalah
toksin yang dapat melisiskan sel darah merah manusia dan kelinci, tetapi
efek lisisnya kurang terhadap sel darah merah domba (Jawetz et al.,
2012).
4 Leukosidin
Toksin ini dapat mematikan sel
darah putih pada beberapa hewan. Tetapi perannya dalam patogenesis pada
manusia tidak jelas, karena Staphylococcus patogen tidak
dapat mematikan sel-sel darah putih manusia dan dapat difagositosis
(Jawetz et al., 2012).
5 Toksin Eksfoliatif
Toksin ini mempunyai aktivitas
proteolitik dan dapat melarutkan matriks mukopolisakarida epidermis,
sehingga menyebabkan pemisahan intraepitelial pada ikatan sel di
stratum granulosum. Toksin eksfoliatif merupakan penyebab Staphylococcal
Scalded Skin Syndrome, yang ditandai dengan melepuhnya kulit
(Jawetz et al., 2012).
6 Toksin Sindrom Syok Toksik
(TSST)
Sebagian besar galur S. aureus
yang diisolasi dari penderita sindrom syok toksik menghasilkan eksotoksin
pirogenik. Pada manusia, toksin ini menyebabkan demam, syok, ruam
kulit, dan gangguan multisistem organ dalam tubuh (Jawetz et al.,
2012).
7 Enterotoksin
Enterotoksin adalah enzim yang
tahan panas dan tahan terhadap suasana basa di dalam usus. Enzim ini
merupakan penyebab utama dalam keracunan makanan, terutama pada
makanan yang mengandung karbohidrat dan protein (Jawetz et
al., 2012).
Pengobatan terhadap infeksi S.
aureus dilakukan melalui pemberian antibiotik, yang disertai dengan
tindakan bedah, baik berupa pengeringan abses maupun nekrotomi
(Kristiani, 2005). Pemberian antiseptik lokal sangat dibutuhkan untuk menangani
furunkulosis (bisul) yang berulang.
Pada infeksi yang cukup berat,
diperlukan pemberian antibiotik secara oral atau intravena, seperti
penisilin, metisillin, sefalosporin, eritromisin, linkomisin, vankomisin, dan
rifampisin. Sebagian besar galur Stafilokokus sudah resisten terhadap berbagai
antibiotik tersebut, sehingga perlu diberikan antibiotik berspektrum
lebih luas seperti kloramfenikol, amoksilin, dan tetrasiklin (Jawetz et al.,
2012).